Saturday, January 18, 2020

Bahasa Agama dalam Bid’ah

Sunah adalah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi SAW, menyangkut perkataan (qaul), perbuatan (fiil), dan ketetapan (takrir)  Nabi. Inilah sumber dalam membedakan mana urusan agama dan urusan dunia, diakui bahwa selama ini, sebagian terjebak dalam definisi sunah yang seolah mengikat pikiran dalam menjalankan aturan-aturan Tuhan. Sehingga dalam kenyataannya tidak ada peluang bagi otak dan akal untuk mengeksplorasi kreativitas berpikir.
Sunah memang menjadi hukum yang mengikat setelah al-Qur’an, tetapi dalam praktik keseharian, sunah harus dimaknai sebagai sumber hukum yang memberikan kesempatan kepada pemeluknya untuk menetapkan perbuatannya yang tidak diintervensi oleh definisi sunah tersebut. Karena dalam proses kehidupan, terdapat pasangan-pasangan yang menunjukkan kemampuan manusia untuk menempatkan posisinya dan melakukan pengabdian terhadap posisinya tersebut.
Dunia dan akhirat, ibadah dan muamalah, sunah dan wajib bahkan sunah dan Bid’ah merupakan posisi kemanusiaan yang perlu dilakukan secara proporsional dalam penghambaan kepada Allah. Misalkan kehidupan di dunia digunakan “hanya” untuk urusan akhirat tanpa memikirkan fungsi biologis, hubungan dengan alam, hubungan dengan sesama manusia, maka tidak ada gunanya dunia ini di isi oleh manusia kalau hanya akan menjalankan hal-hal yang diwajibkan atau disunahkan, maka perlu keseimbangan dalam menunjukkan sisi kemanusiaan.
Untuk mengetahui kapan sunah menjadi syariat (hukum yang mengikat), perlu dipahami makna tersirat dari sunah yang disabdakan Rasulullah. Misalkan Nabi ketika bersabda (Qaul) mengungkapkan yang berkaitan dengan akidah dan ibadah, maka itu termasuk dalam sunah qauliyah, ketika nabi menunjukkan perbuatannya (fiil) yang menyangkut akidah dan ibadah, maka itu termasuk sunah fi’liyah dan saat Nabi menetapkan suatu hukum yang berkaitan dengan akidah dan ibadah, itulah sunah takririyah. 
Tidak semua sunah harus dipastikan sebagai hukum yang wajib diikuti oleh hamba, walaupun tidak sedikit para dai saat ini mengklaim dirinya sebagai pengikut ahli sunah. Sunah yang wajib diikuti adalah sunah yang menyangkut masalah-masalah keagamaan yaitu akidah dan ibadah, di luar itu tidak termasuk sebagai sunah. Jadi memberikan kesempatan kepada otak untuk berpikir dan berkreasi positif bukanlah hal yang salah, sunah pun harus dimaknai dengan luas, yang menyangkut cara berpakaian Nabi, model pakaian, memakai gamis dan lain sebagainya merupakan pemahaman tentang sunah yang sempit. Maka, menempatkan pemikiran perlu dilakukan dalam melihat konteks.
Berdasarkan penjabaran antara sunah atau agama dengan dunia, maka beberapa ahli agama seperti AF Effendy (Malang: 2012) mencoba mengambil jalan tengah sebagai bentuk kontribusi terhadap pengembangan hukum Islam yaitu: dalam akidah dan ibadah, hukumnya sudah mutlak tidak bisa diotak-atik oleh pikiran manusia. Dalam hal muamalah, Allah dan Rasulullah memberikan patokan-patokan dan prinsip, sedangkan aplikasi dan pelaksanaannya diserahkan kepada ijtihad manusia. Dan dalam aspek akhlak, Allah dan RasulNya memberikan aturan-aturan kebaikan untuk kemashlahatan umat (universal) manusia yang wajib diikuti, sedangkan kebaikan-kebaikan yang ma’ruf disesuaikan dengan budaya yang bersifat relatif dan selalu berubah-rubah.
Seiring dengan perjalanan dalam mengkaji tentang sunah, Bid’ah juga selalu dibenturkan dengan sunah, kewajiban dan boleh tidaknya seseorang menjalankan ibadahnya sesuai dengan aturan agama, atau yang dihukumi ibadah di luar aturan agama. Tetapi, dalam perjalanan panjangnya, ungkapan bid’ah muncul mencakup segala sendi kehidupan, entah itu urusan agama, ibadah atau muamalah. Bid’ah malah sudah masuk dalam pengkajian sangat serius diberbagai tempat, termasuk di warung kopi, sebagian pemuda mengeluarkan kata-kata bid’ah dalam candaan mereka, sebagai bentuk kekesalan terhadap menjamurnya kata-kata bid’ah yang tidak ditempatkan sesuai porsinya.
Ungkapan Bid’ah semakin populer bagi masyarakat sejak beberapa tahun terakhir, bahkan warga pedesaan yang kental dengan ajaran-ajaran tradisi, yang bagi mereka tradisi keagamaan sudah mendarah daging dan merupakan kewajiban yang harus dilakukan mulai dirasuki dengan berbagai jurus ampuh, seperti pembangunan mushalla atau masjid. Masuknya ajaran-ajaran bid’ah tentu meresahkan masyarakat karena seperti yang sudah dijelaskan, tradisi tahlilan, kunut shalat shubuh dan takziah ke kuburan adalah bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat, ketika hal itu diusik dengan dalih bid’ah, maka ibarat telah memotong sebagian anggota tubuh masyarakat.
Jadi perlu pemahaman yang mendalam dan berani membuka diri terhadap ajaran-ajaran agama biar tidak salah kaprah dalam menjustifikasi kebenaran tunggal. Bid’ah tampil dengan seragam agama yang membaluti diri dengan ciri khas budaya Arab, mulai dari cara berpakaian yang memakai gamis, jidad hitam, celana di atas mata kaki dan ketika berhadapan dengan orang di luar golongannya dengan sigap membid’ah kan bahkan mengkafirkan. Semua yang dilakukan orang di luar nya dihukumi bid’ah dan kafir, yang perlu dieksekusi dengan pemahaman bid’ah nya dan tidak memiliki toleransi keagamaan., hanya cara beragamanya yang paling benar dan Tuhan berada dalam ucapannya, padalah dalam konteks keyakinan mereka telah menggadaikan Tuhan.
Segala jenis aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat, seperti tahlilan, takziah, mauludan sampai dengan hari ini belum ada satu golongan atau organisasi termasuk NU yang mengklaim bahwa apa yang dituduhkan bid’ah kepadanya termasuk dalam hal syariat atau ibadah yang diturunkan Allah, melainkan hanya tradisi yang dikembangkan dengan tujuan untuk memudahkan dakwah Islam kepada umat, seperti yang dilakukan oleh Wali Songo, sehingga Islam bisa diterima oleh masyarakat dengan cepat. Tetapi, bagi kaum sebelah, hal ini tetap diyakininya sebagai amalan bid’ah karena tidak pernah dilakukan oleh Nabi.
Penjelasan di atas merupakan komentar orang atau kelompok yang belum mengerti hakikat bid’ah. Padahal memahami bid’ah sama pentingnya dengan memahami sunah, sebagaimana memahami syirik dengan tauhid. Ilmu yang diturunkan Tuhan kepada semua manusia untuk dipelajari secara mendalam melalui pengkajian-pengkajian yang akan memunculkan pemahaman dan memberikan kesempatan kepada otak untuk berpikir. Bid’ah yang sering dijadikan senjata bagi kaum sebelah merupakan makna bid’ah salah tafsir, sehingga untuk meluruskan perlu dijelaskan konsep bid’ah.
Bid’ah dalam pengertian sederhananya adalah segala sesuatu yang baru, atau sesuatu yang dibuat-buat setelah Islam tampil dengan sempurna tanpa ada yang perlu ditambah-tambah. Artinya, Kesempurnaan yang terdapat dalam Islam tidak memungkinkan bagi manusia untuk berkarya dan memproduksi sesuatu yang baru dan dikaitkan dengan Islam. Dalam kamus al-Muhith hal 702 Mu’assasah Risalah, 1426 H, dijelaskan bid’ah sebagai berikut:
الحدث في الدين بعد الإكمال
“Suatu hal yang baru dalam masalah agama setelah agama tersebut sempurna”.
ما أحدث في الدين من غير دليل
 “Sesuatu yang baru (dibuat-buat) dalam masalah agama tanpa adanya dalil”. 
Dua dalil di atas artinya sama untuk mewakili pengertian bid’ah, sama-sama menjelaskan tentang sesuatu yang baru. Tetapi kalau ditelaah secara mendalam, dalil yang sering digunakan oleh golongan sebelah secara khusus memberikan pengertian tentang ibadah, tidak menyentuh sama sekali ke bagian tradisi. Sedangkan dalam pengertian yang lebih luas, Dar Ibnu Affan dalam al-I’tisham hal 51-52 menjelaskan pengertian bid’ah dari segi tradisi:
طريقة في الدين مخترعة، تضاهي الشرعية، يقصد بالسلوك عليها ما يقصد بالطريقة الشرعية
“Suatu jalan dalam agama yang dibuat-buat (tanpa ada dalil) dan menyerupai syariat (ajaran Islam), yang dimaksudkan ketika melakukan (adat tersebut) adalah sebagaimana niat ketika menjalani syariat (Yaitu untuk mendekatkan diri kepada Allah)”.
Dalam hal tradisi atau budaya, bid’ah tidak termasuk di dalamnya. Jadi, klaim benar sendiri yang sering diungkapkan oleh kaum sebelah masih belum tepat untuk menjustifikasi perbuatan orang di luar golongannya sebagai ahli bid’ah atau kafir. Perlu menelaah dan mengkaji kitab kembali yang berkaitan dengan bid’ah sehingga akan mudah mendalami makna dan tidak cepat memfonis orang lain sebagai ahli bid’ah. Dalam referensi yang lain definisi bid’ah hanya dalam urusan agama kembali ditegaskan:
مَنْاِخْتَرَعَفِيالدِّينمَالَايَشْهَدلَهُأَصْلمِنْأُصُولهفَلَايُلْتَفَتإِلَيْهِ
 “Siapa yang membuat perkara baru dalam agama lalu tidak didukung oleh dalil, maka ia tidak perlu ditoleh”. 
Untuk menguatkan dalil di atas, Ibnu Hajar al-Asqalani menegaskan dalam Kitab Fathul Bari 3/4532:
أصلهاماأحدثعلىغيرمثالسابق،وتطلقفيالشرعفيمقابلالسنّةفتكونمذمومة
“Bid’ah asalnya adalah segala hal yang dibuat-buat tanpa ada contoh sebelumnya dan di mutlakkan dalam syariat agama yang menyelisihi sunah, sehingga menjadi tercela”.
Jadi jelas, bahwa apa yang gampang dituduhkan oleh kaum sebelah tentang semua pekerjaan yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi dihukumi bid’ah tidak berdasar. Karena bid’ah hanya bisa diungkapkan dalam hal akidah dan ibadah. Kalau misalkan bid’ah harus dipaksakan berkaitan dengan semua pekerjaan yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi, lalu bagaimana dengan orang yang berhaji menggunakan pesawat, Rasulullah sendiri tidak pernah menggunakan pesawat dalam berhaji. Begitu juga dengan hand phone dan alat-alat baru yang kemarin ditemukan, kalau ungkapan bid’ah diartikan sebagai sesuatu yang baru berdasarkan pengertian bid’ah dari segi bahasa.
Ada sebagian kecil kaum muslimin yang asal-asalan dan serampangan membid’ahkan dan memvonis ahli bid’ah. Kalaupun benar bid’ah, caranya yang salah, tidak hikmah dalam berdakwah. Langsung serampangan dan keras, seharusnya melihat keadaan dan orang yang di dakwah. Bisa jadi karena kurangnya ilmu dan pemahaman tentang bid’ah atau terlalu semangat dan berlebihan dalam memvonis atau juga sudah menganggap dirinya lebih hebat dan bisa jadi juga timbul rasa hasad dengan dakwah seseorang yang berkembang pesat sehingga berusaha menjatuhkannya dan memvonis bid’ah.
Dan merupakan kesalahan yang dilakukan oleh sebagian kaum muslimin adalah sikap menggampangkan dalam membid’ahkan saudara-saudaranya. Praktik ini tidak hanya dilakukan oleh sebagian orang yang memiliki ilmu diantara mereka, bahkan juga dipraktikkan oleh orang yang baru ngaji, yang belum mengenal tauhid dan bid’ah secara baik, namun begitu berani menyatakan saudara-saudaranya yang lain adalah ahli bid’ah.
Diantara mereka ada yang memvonis saudaranya Sururi, namun tatkala ditanya apakah yang dimaksud dengan Sururiyyah? Bagaimana ciri-cirinya? Maka ia terdiam seribu bahasa. Kalau taklid dalam perkara hukum yang berkaitan dengan diri sendiri maka perkaranya masih ringan, namun taklid dalam memvonis dan men-tabdi’ orang lain, sementara terdapat hukum-hukum yang berat yang dibangun di balik vonis, maka perkaranya adalah besar. Apakah yang akan ia katakan di Akhirat kelak jika dimintai pertanggung jawaban oleh Allah? Bagaimana mungkin seseorang memvonis orang lain dengan perkataan yang ia sendiri tidak paham maknanya? Pantaskah seseorang mengatakan orang lain sebagai musyrik jika ia sendiri tidak memahami makna syirik? Pantaskah seseorang mengatakan saudaranya ahli bid’ah, sementara ia sendiri tidak paham makna bid’ah? 
Dikhawatirkan justru dialah yang merupakan ahli bid’ah dengan pembid’ahan mengawur yang dilakukannya. Pantaskah seseorang mengatakan saudaranya Sururi, padahal ia tidak paham makna Sururiyyah? Jangan-jangan ia sendiri yang terjatuh dalam praktik Sururiyyah sedangkan ia tidak menyadarinya. Yang sangat disesalkan demikianlah kenyataannya, ternyata sebagian mereka justru terjatuh dalam praktik Sururiyyah, seperti melakukan demonstrasi yang mereka namakan “menampakkan kekuatan”, tetapi substansinya sama saja mencela pemerintah di hadapan khalayak, dan lain-lain yang merupakan ciri-ciri Sururiyyah. 
Ternyata sebagian orang yang hobinya memvonis saudaranya dengan sururi akhirnya juga divonis dengan mubtadi’ juga. Senjata yang biasanya dia gunakan untuk menembak secara membabi buta terhadap saudara-saudaranya sesama salafy ternyata menembak dirinya sendiri. Dalam istilah kita “Senjata makan tuan”.
Sebagian mereka –setelah belajar ke luar negeri- lalu pulang ke tanah air, akhirnya memvonis guru-guru mereka sebagai sururi dan Ahlul bid’ah. Ternyata… hal itupun menimpa mereka, murid-murid mereka yang balik dari luar negeri juga menuduh mereka sebagai Ahlul ahwaa (pengikut hawa nafsu). Bahkan yang lebih parah, bukan hanya ditahdzir dan ditabdi’ oleh murid-murid mereka, bahkan guru mereka sendiri yang dahulunya dikatakan sebagai al-‘Alim Al-Muhaddits Al-Faqih ternyata mereka musuhi. Namun sang guru Al-Muhaddits Al-Faqih tidak menerima hal itu akhirnya juga mentahdziir mereka. Jadilah kondisi mereka lebih buruk dari ulah perbuatan mereka sendiri.

0 comments:

Post a Comment